PENDIDIKAN di Indonesia tengah menghadapi tantangan kapitalisasi. Sekolah dan lembaga pendidikan kian dipandang sebagai komoditas, lebih tunduk pada logika pasar ketimbang mengedepankan keadilan sosial dan nilai kemanusiaan. Fenomena ini membuat akses pendidikan kerap ditentukan oleh kemampuan ekonomi, bukan oleh hak setiap anak untuk belajar.
Padahal, jauh sebelum Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantara telah menegaskan pentingnya pendidikan merdeka. Pendidikan yang memerdekakan pikiran, jiwa, dan perasaan; yang menumbuhkan budi pekerti, kreativitas, serta menghargai budaya lokal. Konsep ini pula yang seharusnya menjadi arah kebijakan pendidikan nasional hingga hari ini.
Gagasan Pendidikan Merdeka
Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan adalah sarana pembebasan, bukan alat melanggengkan kesenjangan sosial. Melalui sistem Among—“ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”—pendidikan ditujukan untuk menuntun, bukan menekan. Ia juga mengusung konsep Trisentra (keluarga, sekolah, masyarakat) serta Paguron (lembaga pendidikan berbasis budaya), yang semuanya berakar pada nilai humanisme.
Namun, dalam praktik kontemporer, pendidikan sering kali terseret pada logika kapitalisasi: biaya sekolah tinggi, fasilitas yang timpang, hingga kurikulum yang lebih diarahkan untuk memenuhi pasar kerja semata. Akibatnya, fungsi pendidikan sebagai ruang pembentukan manusia seutuhnya tereduksi.
Harlah Ma’arif sebagai Momentum Strategis
Di tengah situasi ini, Harlah Ma’arif (hari lahir Lembaga Pendidikan Ma’arif NU) dapat menjadi momentum penting untuk merevitalisasi kembali gagasan pendidikan merdeka.
Bagi SMK JAPA Dukuhseti, perayaan Harlah bukan sekadar seremoni, melainkan kesempatan untuk:
• Mengajak guru, siswa, dan masyarakat melakukan refleksi kolektif tentang arah pendidikan.
• Menegaskan kembali bahwa pendidikan bukan barang dagangan.
• Menguatkan kebijakan sekolah agar lebih adil, transparan, dan berpihak pada anak-anak kurang mampu.
• Menjalin kemitraan dengan orang tua, komunitas NU, pemerintah, hingga donatur lokal untuk mendukung keberlanjutan sekolah.
Rekomendasi Praktis untuk SMK JAPA Dukuhseti
Ada sejumlah langkah yang bisa diambil SMK JAPA agar nilai pendidikan merdeka benar-benar hadir di ruang kelas maupun kebijakan sekolah:
Biaya dan Akses
• Menyediakan beasiswa untuk siswa kurang mampu.
• Memberi subsidi biaya praktik dan alat kejuruan.
• Mengurangi pungutan tambahan yang memberatkan keluarga.
Kurikulum dan Pembelajaran
• Menekankan nilai kebebasan berpikir, kreativitas, dan penghargaan pada budaya lokal.
• Mengintegrasikan metode Among dalam pembelajaran sehari-hari.
Kebijakan Sekolah
• Membuat pernyataan resmi menolak komersialisasi pendidikan.
• Menerapkan transparansi biaya dan evaluasi rutin.
Guru dan Tenaga Kependidikan
• Memberikan pelatihan tentang pendidikan inklusif dan keadilan sosial.
• Mendorong guru mengembangkan kompetensi non-akademik seperti empati dan kepedulian.
Keterlibatan Komunitas
• Menguatkan kolaborasi dengan orang tua, komunitas lokal, dan jaringan NU.
• Menggunakan Harlah sebagai forum publik untuk mempertegas komitmen sosial sekolah.
Evaluasi dan Refleksi
• Menyusun laporan tahunan yang menilai aspek keadilan pendidikan.
• Menjadikan peringatan Harlah sebagai saat refleksi, bukan sekadar perayaan.
Tantangan dan Harapan
Memang, jalan menuju pendidikan yang merdeka tidak mudah. Sekolah masih terbentur keterbatasan dana, standar mutu yang identik dengan fasilitas mahal, serta pandangan masyarakat bahwa sekolah berbiaya tinggi pasti berkualitas. Namun, gagasan Ki Hajar Dewantara menunjukkan bahwa keadilan sosial dan humanisme bukan hanya cita-cita, melainkan fondasi utama bagi pembangunan bangsa.
Penutup
Melalui momentum Harlah Ma’arif, SMK JAPA Dukuhseti berpeluang menjadi teladan dalam menolak kapitalisasi pendidikan. Dengan kebijakan yang adil, kurikulum yang humanis, serta dukungan komunitas, sekolah dapat membuktikan bahwa pendidikan bukanlah komoditas, melainkan hak dan sarana pembebasan manusia. (*)
Penulis: Agus Mahfud, S.Pd., M.Pd (Kepala Sekolah SMK JAPA Dukuhseti)