Jakarta, Harianpantura.com – Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan terbaru yang akan menjadi dasar penetapan upah minimum tahun 2026.
Dalam PP tersebut, pemerintah menetapkan formula baru kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP), yakni Inflasi + (Pertumbuhan Ekonomi × Alfa), dengan rentang nilai alfa antara 0,5 hingga 0,9.
“Akhirnya beliau menetapkan bahwa ada rumusan formula yang mungkin sekarang sudah tersebar itu yang kemudian yang menjadi acuan pada PP Pengupahan tersebut. Pada PP tersebut juga dicantumkan terkait dengan upah minimum sektoral baik provinsi, kota/kabupaten, ada kewajiban gubernur menetapkan upah minimum provinsi dan upah minimum sektoral provinsi,” ujar Yassierli dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Yassierli menegaskan, besaran kenaikan UMP 2026 sepenuhnya bergantung pada kebijakan kepala daerah masing-masing, khususnya dalam menentukan nilai alfa yang digunakan.
“Jadi, rentang alfa itu memberikan fleksibilitas. Fleksibilitas 0,5 sampai 0,9. Jadi kalau tadi ada bertanya, jadi berapa kenaikannya pak menteri? Ya tergantung dari masing-masing daerah. Ada yang memilihnya mungkin 0,6 0,7 0,8,” jelasnya.
Alfa merupakan indeks yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam PP Pengupahan terbaru, nilai alfa mengalami kenaikan signifikan dibandingkan aturan sebelumnya yang hanya berada pada rentang 0,1 hingga 0,3.
Dengan perubahan ini, kenaikan UMP 2026 dipastikan tidak seragam antarprovinsi. Hal tersebut berbeda dengan kebijakan UMP 2025 yang naik serentak sebesar 6,5 persen.
Menurut Yassierli, penetapan UMP 2026 akan ditentukan melalui dialog antara Dewan Pengupahan Daerah dan gubernur dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi di masing-masing wilayah.
“Kita memang ini berharap terjadi dialog, Dewan Pengupahan Daerah bisa dengan bijak melihat, menentukan, memberikan rekomendasi sesuai dengan kondisi masing-masing daerah mereka. Ada pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi itu hanya di 1-2 kabupaten misalnya. Tentu akan berbeda kasusnya ketika pertumbuhan ekonominya lebih merata. Nah inilah yang menurut saya amanat dari MK dan memang demikian lah harusnya,” ucapnya.
Ia juga menegaskan bahwa penetapan UMP 2025 tidak dapat dijadikan acuan untuk tahun 2026. Pasalnya, kondisi tahun lalu bersifat khusus karena pemerintah harus menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168 Tahun 2023 yang terbit di akhir tahun.
Putusan tersebut mencabut dan merevisi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja, termasuk ketentuan upah minimum, yang menegaskan bahwa penetapan upah harus mempertimbangkan kebutuhan hidup layak.
“Waktu itu situasinya berbeda, sehingga pemerintah pusat yang menetapkan angka kenaikannya,” pungkas Yassierli. (Red)




















































