Jakarta, Harianpantura.com – Konflik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dinilai sebagai akumulasi pertarungan politik yang belum selesai sejak Muktamar 2021. Pengamat politik Citra Institute, Yusak Farchan, menegaskan dinamika yang terjadi saat ini merupakan kelanjutan dari konflik tersebut.
“Saya kira itu konflik lanjutan Muktamar 2021 lalu yang belum tuntas 100 persen,” ujarnya, dikutip dari Metrotvnews, Senin (24/11/2025).
Ia menyebut isu-isu yang belakangan mencuat seperti, pengelolaan keuangan, tambang, hingga tudingan zionisme—hanya bagian permukaan dari problem struktural. Menurut Yusak, tekanan terhadap Ketua Umum PBNU, Gus Yahya Cholil Staquf, menunjukkan menguatnya arus politik di tubuh organisasi.
“Tidak mungkin Rapat Harian Syuriyah PBNU meminta Gus Yahya mundur jika tidak mendapat dukungan besar baik dari dalam maupun dari luar,” tegasnya.
Kasus dugaan penyimpangan dana haji yang menyeret mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, juga disebut memperlemah posisi Gus Yahya. “Kalau PBNU di bawah Gus Yahya ikut terseret, marwah NU akan hancur,” kata Yusak.
Dukungan dari pengurus wilayah pun dinilai rapuh. Di Jawa Timur situasi bergolak sejak pemecatan Kiai Marzuki Mustamar, Jawa Barat disebut dekat dengan faksi Kiai Said, sementara Jawa Tengah juga tidak bulat mendukung. “Posisi Gus Yahya bisa dikatakan sedang terjepit,” ujarnya.
Yusak menilai PBNU perlu pembenahan struktural, terutama penguatan ekonomi kelembagaan dan peningkatan kapasitas SDM. “Kalau kelembagaan kuat, NU bisa mandiri, tidak rawan intervensi politik dan bisa fokus pada tugasnya untuk mengurusi umat,” terangnya.
Sebelumnya, Rapat Harian Syuriyah PBNU meminta Gus Yahya mundur. Rapat berlangsung di Hotel Aston City, Jakarta, Kamis, 20 November 2025, diikuti 37 dari 53 anggota.
Berikut isi lengkap risalah Rapat Harian Syuriah PBNU:
1. Rapat memandang bahwa diundangnya narasumber yang terkait dengan jaringan Zionisme Internasional dalam Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN NU) sebagai narasumber kaderisasi tingkat tertinggi Nahdlatul Ulama telah melanggar nilai dan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah An Nahdliyah serta bertentangan dengan Muqaddimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama.
2. Rapat memandang bahwa pelaksanaan Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN NU) dengan narasumber yang terkait dengan jaringan Zionisme Internasional di tengah praktik genosida dan kecaman dunia internasional terhadap Israel telah memenuhi ketentuan Pasal 8 huruf a Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama Nomor 13 Tahun 2025 tentang Pemberhentian Fungsionaris, Pergantian Antar Waktu dan Pelimpahan Fungsi Jabatan, yang mengatur bahwa pemberhentian tidak dengan hormat dilakukan terhadap fungsionaris dikarenakan yang bersangkutan melakukan tindakan yang mencemarkan nama baik Perkumpulan.
3. Rapat memandang bahwa tata kelola keuangan di lingkungan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengindikasikan pelanggaran terhadap hukum syara’, ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Pasal 97-99 Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama dan Peraturan Perkumpulan Nahdlatul Ulama yang berlaku, serta berimplikasi yang membahayakan pada eksistensi Badan Hukum Perkumpulan Nahdlatul Ulama.
4. Bahwa dengan mempertimbangkan poin 1, 2 dan 3 di atas, maka Rapat Harian Syuriyah memutuskan menyerahkan sepenuhnya pengambilan keputusan kepada Rais Aam dan dua Wakil Rais Aam.
5. Musyawarah antara Rais Aam dan dua Wakil Rais Aam memutuskan:
a. KH. Yahya Cholil Staquf harus mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya keputusan Rapat Harian Syuriyah PBNU.
b. Jika dalam waktu 3 (tiga) hari tidak mengundurkan diri, Rapat Harian Syuriyah PBNU memutuskan memberhentikan KH. Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.



















































